Inilah penyebab utama mengapa Islam dibenci/tidak disukai oleh sebagian umat lain, beragama islam tapi tidak islami (lebih banyak berteori daripada praktek dan berperilaku bertentangan dengan ajaran).
RA harus menaikkan peringkat dari peringkat 140 ke peringkat 1.
-----------------------------------------------------------------------
H. Munawar M. Saad
Dosen STAIN Pontianak dan sedang menyelesaikan program doktor di UGM Yogyakarta
Kita menyadari bahwa Islam di Indonesia adalah agama mayoritas, dan praktik ritualisme keagamaan di negeri ini cukup semarak. Jemaah haji Indonesia merupakan jemaah terbesar di dunia. Bahkan tiap tahun kuota haji untuk Indonesia selalu bertambah, seiring besarnya minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji.
Musabaqah Tilawatil Quran dan Seleksi Tilawatil Quran secara berkala selalu diselenggarakan, mulai tingkat kecamatan sampai tingkat nasional. Tentu telah menelan biaya yang tidak sedikit. Tiap perayaan hari-hari besar keagamaan selalu diperingati, mulai dari tingkat RT sampai istana negara.
Ketika datang bulan suci Ramadan, surau-surau dan masjid bahkan hotel dan kantor mengadakan Salat Tarawih berjemaah. Hampir 20 stasiun tv, baik swasta maupun pemerintah menyiarkan dakwah Islam. Di sekolah juga praktik ritualisme keagamaan terjadi. Tiap masuk sekolah siswa atau murid wajib berdoa, mengucapkan salam dan mencium tangan guru. Di kampus tumbuh pesat pusat kajian keagamaan dan diskusi tentang Islam. Di masyarakat juga tidak mau ketinggalan, majelis taklim ibu-ibu tumbuh di mana-mana bak jamur tumbuh di musim hujan.
Jumlah masjid tiap tahun bertambah, pembangunan masjid dan surau juga semakin meningkat. Di mana-mana masjid dan surau seakan berlomba-lomba memperindah dan memperluas bangunannya. Demikian juga pada kelompok-kelompok tertentu, bermunculan kegiatan dakwah Islam. Pendek kata di Indonesia kegiatan dakwah Islam dan pengajian keislaman luar biasa. Satu sisi ini sangat membanggakan.
Akan tetapi penulis kaget membaca hasil penelitian sosial bertema “How Islamic are Islamic Countries” yang dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University, yang menyimpulkan bahwa negara yang paling Islami (menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan bermasyarakat) justru negara non-Islam.
Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling Islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim menempati urutan ke-140. Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya atau pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah?
Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara nonmuslim, yang perilakunya lebih Islami. Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial? “Kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah.”
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Alquran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat nonmuslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di tanah air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.
Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru.
Namun, pertanyaan yang kemudian dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Alquran dan Hadis. Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata, persamaan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat muslim ketimbang negara-negara Barat.
Di Indonesia, penyimpangan perilaku sosial terjadi di tengah kehidupan masyarakat yang secara individual sangat taat beragama. Namun kesalehan individu justru tidak berdampak pada kehidupan sosial. Misalnya, sering kita jumpai dalam kehidupan keluarga, muncul berbagai tindakan kekerasan. Seperti misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, penganiayaan terhadap pembantu, anak kandung tega menghabisi nyawa orang tuanya sendiri.
Dalam kehidupan antarumat beragama masih sering muncul masalah yang berujung konflik. Dalam kehidupan bermasyarakat, kata jujur sudah semakin sulit kita jumpai, budaya antre sudah semakin langka, budaya gotong royong dan kerja sama antarwarga terasa semakin jauh. Padahal salatnya taat dan sudah melaksanakan haji. Puasa dan zakatnya tidak pernah ketinggalan.
Demikian pula saat ini berkembang tindakan kriminalitas, seperti tindakan perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan teror. Kerusuhan dan tawuran antarwarga telah terjadi di berbagai daerah. Dalam kehidupan berpolitik menjelang pemilukada, atmosfer bumi pertiwi semakin panas. Pertikaian antarparpol semakin tajam dan berakhir dengan jatuhnya banyak korban. Sementara itu tindakan pelanggaran moral sudah sampai pada titik kritis. Misalnya gejala prostitusi yang berakhir dengan aborsi, termasuk seksualitas yang bisa jadi komoditas.
Mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tidak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler? Tampaknya keberagaman kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalahan sosial.
Kalau seorang muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam–syahadat, salat, puasa, zakat, haji–, zikir, ikut pengajian, dan lain sebagainya, maka dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas.
Hal yang terakhir inilah, menurut Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis. Apa yang salah, mengapa ritual dan semarak keagamaan tidak mampu mengubah perilaku individu dan perilaku sosial di Indonesia? Yang pasti bukan ajaran Islam yang salah. Siapakah yang bertanggung jawab atas semua ini?
Menurut penulis, yang salah adalah sistem pengajaran Islam. Dewasa ini keteladanan sang pemimpin umat, ustaz, dan dai atau ulama sungguh tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman yang sebenarnya. Di atas mimbar atau di pengajian ucapannya seperti malaikat, akan tetapi di luar, kelakuannya berbeda jauh dengan apa yang diucapkannya.
Kita sering berlaku tidak adil dan cenderung munafik. Cara penyampaian ajaran agama masih sangat verbalistik, formalistic, dan cenderung membodohi umat. Selama ini ajaran agama yang disampaikan oleh para dai dan ustaz baru sebatas simbolik dan retorik, belum mampu membangun kepercayaan umat terhadap pemimpinnya (guru, dai, ustaz, dan ulama). Bahkan yang celaka, di antara para ustaz atau dai ada yang sengaja membuat umat menjadi ragu dan antipati dengan kehidupan duniawi, karena menurut mereka yang utama adalah kehidupan akhirat.
Dalam sebuah khotbah, penulis pernah mendengar khatib berkata, “Jika Allah SWT sudah berkehendak, maka hancurlah semua kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia ini.” Dampaknya, anak-anak generasi muda kita menjadi lemah semangatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Buat apa menuntut ilmu pengetahuan, toh pada akhirnya akan hancur.
Demikian juga dalam kesempatan lain, khatib dengan bersemangat mengatakan, jika umat Islam berzikir dan berdoa, Insya Allah hasil panen dan hasil tangkapan ikan bagi nelayan akan melimpah ruah. Dampaknya umat Islam hanya sibuk dengan berzikir dan berdoa, lalu lupa dengan urusan ekonomi dan politik. Apakah dengan berdoa dan berzikir semua masalah kehidupan umat akan beres, tanpa usaha sungguh-sungguh? Cara-cara seperti ini berulang-ulang dilakukan oleh sebagian dai kita.
Mana mungkin akhirat bisa diraih dengan melupakan kehidupan dunia. Dunia ini adalah ladang untuk bercocok tanam, yang hasilnya akan diterima di akhirat nanti. Mestinya kita belajar dengan para nabi, bahwa para nabi sangat menganjurkan kita untuk menguasai dunia dengan berbagai disiplin ilmu. Mereka sangat ahli di bidangnya masing-masing.
Sebut saja, Nabi Adam adalah ahli di bidang pertanian, Nabi Nuh ahli membuat kapal, Nabi Daud ahli besi yang mampu membuat pakaian perang dari besi. Nabi Ibrahim adalah seorang arsitektur yang ahli merancang bangunan dan Nabi Muhammad SAW adalah seorang ekonom, yang ahli manajemen perdagangan. Mengapa kita tidak mau belajar dari mereka, padahal para nabi adalah sumber motivator dan agent of change. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar